PENDIDIKAN ANAK METODE RASULULLAH (USIA 4 – 10
TAHUN)
Menasihati dan Mengajari Saat Berjalan Bersama
Berikut ini adalah kisah yang
dituturkan Abdullah bin Abbas ketika diajak jalan bersama Rasulullah di atas
kendaraan beliau. Dalam perjalanan ini, beliau mengajarkan kepadanya beberapa
pelajaran sesuai jenjang usia dan kemampuan daya pikirannya melalui dialog
ringkas, langsung dan mudah. Rasulullah bersabda, “Nak, aku akan memberimu
beberapa pelajaran: peliharalah Allah,
niscaya Dia akan balas memeliharamu.
Peliharalah Allah, niscaya kamu akan menjumpai-Nya dihadapanmu. Jika kamu
meminta, mintalah kepada Allah, dan jika kamu meminta pertolongan, mohonlah
kepada Allah. Ketahuilah, sesungguhnya andaikata manusia persatu padu untuk
memberimu suatu manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak akan dapat memberikannya
kepadamu, kecuali mereka telah ditakdirkan oleh Allah untukmu. Dan seandainya
mereka bersatu padu untuk menimpakan suatu bahaya kepadamu, niscaya mereka
tidak akan dapat membahayakanmu, kecuali sesuatu yang telah ditakdirkan Allah
bagimu, pena telah diangkat dan lembaran catatan telah mengering.”[1]
Menarik Perhatian Anak dengan Ucapan yang Lembut
Adakalanya Rasulullah memanggil
anak dengan panggilan yang paling sesuai dengan jenjang usianya, seperti
ungkapan, “Anak muda, sesungguhnya aku akan memberimu beberapa pelajaran.” Dan
seterusnya. Adakalanya beliau memanggil dengan sebutan, “Anakku” seperti beliau
lakukan kepada Anas saat turun ayat hijab, “Hai anakku, mundurlah kamu ke
belakang.”
Rasulullah menyebut anak-anak Ja’far, putra
pamannya, “Panggilkanlah anak-anak saudaraku.” Beliau pun menanyakan kepada
ibunya, “Mengapa aku lihat tubuh keponakanku kurus-kurus seperti anak-anak yang
sakit?”[2]
Seseorang lebih terkesan bila dipanggil dengan
julukan, gelar, dan predikat yang baik dari pada nama aslinya. Tak terkecuali
anak-anak. Ironisnya, yang sering kali kita dapati anak-anak yang dipanggil
dengan julukan tidak enak didengar, seperti: gundul, gembrot, kribo, dan
sebagainya.
Menghargai Mainan Anak dan Jangan Melarangnya
Bermain
Apa yang akan Anda katakan
ketika mengetahui bahwa Hasan bin Ali mempunyai anak anjing untuk mainannya,
Abu Umair bin Abu Thalhah mempunyai burung pipit untuk mainannya, dan Aisyah
mempunyai boneka perempuan untuk mainannya. Setelah dinikahi Rasulullah, Aisyah
membawa serta boneka mainannya ke rumah beliau, bahkan Rasulullah mengajak
semua teman-teman Aisyah ke dalam rumah untuk bermain bersama Aisyah. Realitas
seperti ini menunjukkan pengakuan dari Rasulullah terhadap kebutuhan anak kecil
terhadap mainan, hiburan dan pemenuhan kecenderungan (bakat).
Al Ghazali mengatakan, “Usai keluar
dari sekolah, sang anak hendaknya diizinkan untuk bermain dengan mainan yang
disuainya untuk merehatkan diri dari kelelahan belajar di sekolah. Sebab,
melarang anak bermain dan hanya disuruh belajar terus, akan menjenuhkan
pikirannya, memadamkan kecerdasannya, dan membuat masa kecilnya kurang bahagia.
Anak yang tidak boleh bermain pada akhirnya akan berontak dari tekanan itu
dengan berbagai macam cara.”[3] Al Ghazali juga menambahkan, “Hendaknya sang
anak dibiasakan berjalan kaki, bergerak, dan berolah raga pada sebagian waktu
siang agar tidak menjadi anak yang pemalas.”
Tidak Membubarkan Anak yang Sedang Bermain
Anas berkata, “Pada suatu hari
aku melayani Rasulullah. Setelah tugasku selesai, aku berkata dalam hati,
‘Rasulullah pasti sedang istirahat siang.’ Akhirnya, aku keluar ke tempat
anak-anak bermain. Aku menyaksikan mereka sedang bermain. Tidak lama kemudian,
Rasulullah datang seraya mengucapkan salam kepada anak-anak yang sedang
bermain. Beliau lalu memanggil dan menyuruhku untuk suatu keperluan. Aku pun
segera pergi untuk menunaikannya, sedangkan beliau duduk di bawah sebuah pohon
hingga aku kembali….”[4]
Selain penting bagi pertumbuhan mental dan fisik
anak, permainan mereka perlukan sebagaimana orang dewasa memerlukan pekerjaan.
Pikirkanlah dahulu untuk membubarkan mereka saat bermain. Kalau untuk
memperingatkan karena waktu yang tidak tepat atau membahayakan diri dan orang
lain, lakukan dengan penuh bijaksana.
Tidak Memisahkan Anak dari Keluarganya
Abu Abdurrahman Al Hubuli
meriwayatkan bahwa dalam suatu peperangan Abu Ayyub berada dalam suatu pasukan,
kemudian anak-anak dipisahkan dari ibu-ibu mereka, sehingga anak-anak itu
menangis. Abu Ayyub pun segera bertindak dan mengembalikan anak-anak itu kepada
ibunya masing-masing. Ia lalu mengatakan bahwa Rasulullah pernah bersabda,
“Barang siapa memisahkan antara seorang ibu dan anaknya, niscaya Allah akan
memisahkan antara dia dan orang-orang yang dicintainya pada hari kiamat.”[5]
Rasulullah juga melarang seseorang duduk di
tengah-tengah antara seorang ayah dan anaknya dalam suatu majelis. Beliau
bersabda, “Janganlah seseorang duduk di antara seorang ayah dan anaknya dalam
sebuah majelis.”[6]
Jangan Mencela Anak
Anas mengatakan, “Aku melayani
Rasulullah selama 10 tahun. Demi Allah, beliau tidak pernah mengatakan, ‘Ah,’
tidak pernah menanyakan, ‘Mengapa engkau lakukan itu?’ dan tidak pula
mengatakan, ‘Mengapa engkau tidak melakukan itu?’.”[7]
Anas juga mengatakan, “Beliau tidak pernah sekali
pun memerintahkan sesuatu kepadaku, kemudian akan manangguhkan pelaksanaannya,
lalu beliau mencelaku. Jika ada salah seorang dari ahli baitnya mencelaku,
beliau justru membelaku, ‘Biarkanlah dia, seandainya hal itu ditakdirkan
terjadi, pastilah terjadi.”
Al Ghazali memberi nasihat,
“Janganlah banyak mengarahkan anak dengan celaan karena yang bersangkutan akan
menjadi terbiasa dengan celaan. Dengan celaan anak akan bertambah berani
melakukan keburukan dan nasihat pun tidak dapat mempengaruhi hatinya lagi.
Hendaklah seorang pendidik selalu menjaga wibawa dalam berbicara dengan anak.
Untuk itu, janganlah ia sering mencela, kecuali sesekali saja bila diperlukan.
Hendaknya sang ibu mempertakuti anaknya dengan ayahnya serta membantu sang ayah
mencegah anak dari melakukan keburukan.”[8]
Mengajarkan Akhlak Mulia
Anas menuturkan bahwa Rasulullah
bersabda, “Wahai anakku, jika engkau mampu membersihkan hatimua dari kecurangan
terhadap seseorang, baik pagi hari maupun petang hari, maka lakukanlah. Yang
demikian itu termasuk tuntunanku. Barang siapa yang menghidupkan tuntunanku,
berarti ia mencintaiku, dan barang siapa mencintaiku niscaya akan bersamaku di
dalam surga.”[9]
Al Ghazali mengatakan, “Anak
harus dibiasakan agar tidak meludah atau mengeluarkan ingus di majelisnya,
menguap di hadapan orang lain, membelakangi orang lain, bertumpang kaki,
bertopang dagu, dan menyandarkan kepala ke lengan, karena beberapa sikap ini
menunjukkan pelakunya sebagai orang pemalas. Anak harus diajari cara duduk yang
baik dan tidak boleh banyak bicara. Perlu dijelaskan pula bahwa banyak bicara
termasuk perbuatan tercela dan tidak pantas dilakukan. Laranglah anak membuat
isyarat dengan kepala, baik membenarkan maupun mendustakan, agar tidak terbiasa
melakukannya sejak kecil.”[10]
Mendoakan Kebaikan, Menghindari Doa Keburukan
Jabir bin Abdullah berkata bahwa
Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian mendoakan keburukan untuk diri kalian,
janganlah kalian mendoakan keburukan untuk anak-anak kalian, janganlah kalian
mendoakan keburukan untuk pelayan kalian, dan jangan pula kalian mendoakan
keburukan untuk harta benda kalian, agar jangan sampai kalian menjumpai suatu
saat yang di dalamnya Allah memberi semua permintaanmu, kemudian mengabulkan
doa kalian.”[11]
Orang tua harus dapat mengontrol penuh lisannya,
agar tidak keluar ancaman atau ucapan yang bisa menjadi doa keburukan bagi sang
anak. Doa itu tak harus sesuatu yang khusus diucapkan saat bersimpuh di hadapan
Allah. Ucapan seketika, seperti, “Dasar anak bandel,” pun bisa bermakna doa.
Dan doa orang tua kepada anak itu bakal manjur.[12]
Meminta Izin Berkenaan dengan Hak Anak
Sahl bin Sa’ad meriwayatkan
bahwa disajikan kepada Rasulullah segelas minuman, lalu beliau meminumnya,
sedang disebelah kanan beliau terdapat seorang anak dan disebelah kirinya terdapat
orang tua. Sesudah minum, beliau bertanya kepada si anak, “Apakah engkau setuju
bila aku memberi minum mereka terlebih dahulu?” Ia menjawab, “Tidak, demi
Allah, aku tidak akan memberikan bagianku darimu.” Rasulullah pun menyerahkan
wadah itu ke tangannya.[13]
Mengajari Anak Menyimpan Rahasia
Abdulllah bin Ja’far bercerita,
“Pada suatu hari Rasulullah memboncengku di belakangnya. Beliau kemudian
membisikkan suatu pembicaraan kepadaku agar tidak terdengar oleh seorang
pun.”[14]
Makan Bersama Anak Sembari Memberikan Pengarahan
dan Meluruskan Kekeliruan Mereka
Umar bin Abu Salamah bercerita,
“Ketika masih kecil, aku berada di pangkuan Rasulullah dan tanganku menjalar ke
mana-mana di atas nampan. Rasulullah bersabda kepadaku, ‘Hai bocah, sebutlah
nama Allah (berdoa), makanlah dengan tangan kanan, dan makanlah makanan yang
ada di dekatmu.’ Maka senantiasa seperti itulah cara makanku sesudahnya.”[15]
Abdullah bin Umar tidak pernah melakukan shalat
malam, maka Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik lelaki adalah Abdullah bin Umar
seandainya dia shalat malam.” Sesudah itu, dia hanya tidur sebentar saja setiap
malamnya.[16]
Berlaku Adil Kepada Anak, Tanpa Membedakan
Laki-laki atau Perempuan
Nu’man bin Basyir pernah datang
kepada Rasulullah lalu berkata, “Sungguh, aku telah memberikan sesuatu kepada
anak laki-lakiku yang dari Amarah binti Rawwahah, lalu Amarah menyuruhku untuk
menghadap kepadamu agar engkau menyaksikannya, ya Rasulullah.” Rasulullah
bertanya, “Apakah engkau juga memberikan hal yang sama kepada anak-anakmu yang
lain?” Ia menjawab, “Tidak.” Rasulullah bersabda, “Bertakwalah kamu kepada
Allah dan berlaku adillah kamu diantara anak-anakmu.” Nu’man pun mencabut kembali pemberiannya.[17]
Melerai Anak yang Terlibat Perkelahian
Rasulullah pernah memisahkan dua
bocah yang terlibat dalam perkelahian. Beliau meluruskan pemikiran mereka dan
menyerukan kepada orang-orang dewasa untuk menangkal kezaliman.[18]
Gali Potensi Mereka
Ibnu Umar meriwayatkan bahwa
Rasulullah bersabda, “Di antara pepohonan yang tumbuh di daerah pedalaman
terdapat sebuah pohon yang dedaunannya tidak pernah gugur, dan itulah
perumpamaan seorang muslim. Ceritakanlah kepadaku pohon apakah itu?”
Orang-orang menebaknya dengan beragam pepohonan yang tumbuh di daerah pedalaman
tersebut. Ibnu Umar berkata, ‘Dalam hatiku terbetik bahwa pohon yang dimaksud
adalah pohon kurma, tetapi aku merasa malu untuk mengutarakannya (karena saat
itu usiaku masih sangat muda). Selanjutnya, mereka pun menyerah dan berkata,
‘Ceritakanlah kepada kami wahai Rasulullah, pohon apakah itu?’ Rasulullah
menjawab, ‘Itulah pohon kurma’.”[19]
Rangsang dengan Hadiah
Rasulullah pernah membariskan
Abdulullah, Ubaidillah dan sejumlah anak-anak pamannya, Al Abbas, dalam suatu
barisan, kemudian beliau bersabda, “Siapa yang paling dahulu sampai kepadaku,
dia akan mendapatkan (hadiah) ini.” Mereka pun berlomba lari menuju tempat
Rasulullah berada. Setelah mereka sampai di tempat beliau, ada yang memeluk
punggung dan ada pula yang memeluk dada beliau. Rasulullah menciumi mereka
semua serta menepati janji kepada mereka.[20]
Menghibur Anak Yatim dan Menangis Karena Mereka
Rasulullah bersabda, “Aku dan
pengasuh anak yatim itu di surga seperti ini.” Beliau menunjukkan jari telunjuk
dan jari tengah dengan meregangkan sedikit saja.[21] Rasulullah pernah menciumi
dan bercucuran air mata ketika melihat anak-anak Ja’far menjadi yatim karena
ayahnya gugur dalam medan perang, beliau juga menghibur mereka.[22]
Tidak Merampas Hak Anak Yatim
Rasulullah bersabda, “Ya Allah,
sesungguhnya aku mengharamkan hak dua orang lemah, yaitu anak yatim dan
wanita.”[23] Dengan demikian, seleksilah benar-benar harta kita. Adakah di
dalamnya hak anak yatim yang kita rampas? Sebab, ancaman memakan harta mereka
begitu jelas dan gamblang.
Melarang Bermain Saat Setan Berkeliaran dan
Lindungilah dari penyakit ‘Ain
Rasulullah bersabda, “Apabila
malam mulai gelap (malam telah tiba), tahanlah anak-anak kalian, karena setan
saat itu sedang bertebaran. Apabila telah berlalu sesaat dari waktu maghrib,
lepaskanlah mereka….”[24]
Aisyah menceritakan bahwa Rasulullah melihat anak
yang sedang menangis kemudian beliau bersabda, “Mengapa bayi kelian menangis?
Mengapa tidak kalian ruqyah dari penyakit ‘ain?”[25]
Mengajari Azan dan Shalat
Abu Mahdzurah bercerita, “Aku
bersama 10 orang remaja berangkat
bersama Rasulullah dan rombongan. Pada saat itu, Rasulullah adalah orang paling
kami benci. Mereka kemudian menyerukan azan dan kami yang 10 orang remaja ikut
pula menyerukan azan dengan maksud mengolok-ngolok mereka. Rasulullah bersabda,
‘Bawa kemari 10 orang remaja itu!’ Beliau memerintahkan, ‘Azanlah kalian!’ Kami
pun menyerukan azan.
Rasulullah bersabda, ‘Alangkah
baiknya suara anak remaja yang baru kudengar suaranya ini. Sekarang pergilah
kamu dan jadilah juru azan buat penduduk Mekkah.’ Beliau bersabda demikian
seraya mengusap ubun-ubun Abu Mahdzurah, kemudian beliau mengajarinya azan dan
bersabda kepadanya, ‘Tentu engkau sudah hafal bukan?’ Abu Mahdzurah tidak
mencukur rambutnya karena Rasulullah waktu itu mengusapnya.[26]
Mengenai shalat, Rasulullah bersabda, “Ajarilah
anak-anak kalian shalat sejak usia 7 tahun dan pukullah ia karena
meninggalkannya bila telah berusia 10 tahun.”[27]
Anas
bin Malik berkata, “Pada suatu hari aku pernah masuk ke tempat Rasulullah dan
yang ada hanyalah beliau, aku, ibuku, dan Ummu Haram, bibiku. Tiba-tiba
Rasulullah menemui kami lalu bersabda, ‘Maukah bila aku mengimami shalat untuk
kalian?’ Kala itu bukan waktu shalat. Maka salah seorang berkata, ‘Bagaimana
Anas di posisikan di dekat beliau?’ Beliau menempatkanku di kanan beliau lalu
beliau shalat bersama kami…”[28]
Tanpa cangung, Rasulullah
mengajak anak shalat berjamaah meski tak ada orang selain anak tersebut, tanpa
ragu pula, beliau mengangkat pemuda yang membencinya untuk menjadi tukang azan
atau muazin kota Mekkah.
Mengajari Anak Sopan Santun dan Keberanian
Sebagaimana yang telah dijelaskan, bahwa Rasulullah
pernah meminta izin kepada anak ketika beliau hendak memberi minum kepada tamu
yang dewasa terlebih dahulu sebelum dia. Namun anak itu menolak. Saat itu
Rasulullah tidak bersikap kasar dan tidak menegurnya.
Di antara keberanian yang beretika ialah anak tidak
dibiarkan berbuat sesuatu dengan sembunyi-sembunyi. Al Ghazali mengatakan,
“Anak hendaknya dicegah dari mengerjakan apa pun dengan cara sembunyi-sembunyi.
Sebab, ketika anak menyembunyikannya berarti dia menyakini perbuatan tersebut
buruk dan tidak pantas dilakukan.[29]
Menjadikan Anak yang Lebih Muda sebagai Imam Shalat
dan Pemimpin dalam Perjalanan
Abu Hurairah menuturkan bahwa
Rasulullah bersabda, “Bila kalian sedang berpergian, hendaknya yang menjadi
imam adalah yang paling bagus bacaannya di antara kalian, walaupun ia orang
yang paling muda. Bila ia telah menjadi imam berarti ia adalah pemimpin.”[30]
Dan dikuatkan dengan hadits shahih, Amru bin Salamah berkata, Rasulullah
bersabda, “Hendaknya yang menjadi imam kalian adalah yang paling banyak bacaan
Al Qur’annya.”[31]
Sumber:
Syeih Jamal Abdurrahman dalam bukunya yang berjudul
“Athfalul Muslimin Kaifa Robaahumun Nabiyyul Amin Saw” yang sudah diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia oleh Agus Suwandi dengan Judul “Islamic Parenting, Pendidikan Anak Metode
Nabi” Solo: Aqwam, 2010
[1] At Turmizi, Kitab Shifatul Qiyamah, 2516
[2] Muslim, 4075
[3] Ihya ‘Ulumuddin: III, 163
[4] Ahmad, 12956
[5] At Turmizi, 1204
[6] At Thabrani, Al Ausath: IV, 4429
[7] Muttafaq Alaih.
[8] Ihya ‘Ulumuddin: III
[9] At Turmizi, Kitab ‘Ilmi, 2602
[10] Ihya ‘Ulumuddin: III, 62
[11] Muslim, Kitab Zuhud wa Raqaiq, 5328 dan Abu
Dawud, Kitab Shalat, 1309
[12] Untuk lebih jelasnya lihat hadits At Turmizi,
Kitab Birri wash Shilah, 1828
[13] Muttafaq Alaih.
[14] Muslim, Kitab Haidh, 517 dan Abu Dawud, Kitab
Jihad, 2186
[15] Bukhari, Kitab Ath’imah, 4957
[16] Muslim, Kitab Fadhuish Shahabah, 4528
[17] Bukhari, Kitab Hibah, 2398
[18] Lebih jelasnya lihat hadits Muslim, Kitab Birr
wash Shilah, 4681
[19] Muttafaq Alaih.
[20] Majmu’uz Zawaid: IX, 17
[21] Bukhari, Kitab Thalaq, 4892 dan Kitab Adab,
5556; Tirmizi, Kitab Barri wash Shilah, 1841
[22] Lebih jelasnya lihat hadits Ahmad, Musnaddul
Anshar, 25839 dan Musnadul Ahli Baith, 1695
[23] Ibnu Majah, Kitab Adab, 3668 dan Ahmad
Musnadul Mukstirin, 9289
[24] Bukhari, Kitab Badil Khalq, 3038
[25] Shahih Al Jami’, 5662
[26] Ahmad, Musnadul Makkiyah, 14833
[27] Tirmizi, Kitab Shalat, 372 dan Abu Dawud,
Kitab Shalat, 418
[28] As Silsilatush Shahihah, 140
[29] Ihya ‘Ulumuddin, III
[30] Al Bazzar, hasan menurut Al Haitsami, Majma’uz
Zawaid: II, 64
[31] Shahih Al Jami’, 5350