read more
kebijaksanaan
tentang pengurangan jumlah mata pelajaran di tingkat sekolah dasar. Pengurangan
jumlah mata pelajaran tersebut adalah, dari sebelas mata pelajaran menjadi enam
subyek, yakni Agama, Bahasa Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan, Matematika,
Seni dan Budaya, serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan. Namun, pengurangan ini baru disepakati untuk
siswa kelas 1-3 saja, sedangkan kelas 4-6 masih akan didiskusikan lagi. Menurut
Musliar Kasim, Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, mata pelajaran bahasa
Inggris ditiadakan untuk siswa SD karena untuk memberi waktu bagi para siswa
dalam memperkuat kemampuan bahasa Indonesia sebelum mempelajari bahasa asing
(Kompas.com, 10/10/2012).
Sunday, September 20, 2015
POLEMIK PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS
DI SEKOLAH DASAR
Pendahuluan
Beberapa
waktu lalu, munculnya issue tentang penghapusan mata pelajaran bahasa Inggris
dalam kurikulum untuk jenjang Sekolah Dasar (SD/MI) sempat menjadi bahan
perbincangan yang menghebohkan. Perubahan kurikulum yang rencananya akan
dilaksanakan di tahun ajaran 2013-2014 ini menyusul adanya
Hal
ini tentu sangat mengejutkan, mengingat sudah hampir 14 tahun pembelajaran
bahasa Inggris dilaksanakan di tingkat SD terhitung semenjak resmi dicetuskan
pada tahun 1994. Tentunya tidak mudah untuk memahami kebijakan tersebut
mengingat sudah terlalu banyak usaha yang muncul dari pengalokasian APBN dan
APBD demi mensukseskan pembelajaran di
tingkat sekolah dasar. Bisa dikatakan, semua usaha tersebut belumlah sempat
mencapai finish, atau hasil yang benar-benar memuaskan dari anak-anak didik di
tingkat sekolah dasar dan harus terhenti begitu saja (Okezone.com, 10/10/2012).
Pendapat lain datang dari pakar sosio-linguistik dari Universitas Gajah Mada,
Kunjana Rahardi, yang menyetujui rencana pemerintah itu, karena menurutnya,
pengenalan bahasa asing yang terlalu dini berdampak buruk bagi penguasaan
bahasa ibu seorang anak terutama anak di usia kelas 1-3 sekolah dasar.
Penguasaan bahasa ibu, baik bahasa
Indonesia ataupun bahasa daerah yang bagus akan membantu seorang anak belajar
bahasa kedua dan ketiga (voaindonesia.com, 12/10/2012).
Menanggapi
pro dan kontra dari berbagai pihak tentang kebijaksanaan tersebut, Musliar Kasim selaku Wakil Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan kembali memberikan klarifikasi bahwa mata pelajaran bahasa
Inggris untuk jenjang SD memang tidak pernah diwajibkan. Untuk itu, tidak ada
penghapusan mata pelajaran bahasa Inggris dalam perombakan kurikulum untuk
tingkat SD. Ia menambahkan bahwa mata pelajaran bahasa Inggris memang tidak akan
dimasukkan dalam enam mata pelajaran wajib untuk tingkat SD dalam kurikulum
baru, karena kalau bahasa Inggris ini menjadi mata pelajaran wajib tapi tenaga
pengajarnya tidak kompeten maka efeknya tidak baik bagi anak-anak. Kendati
demikian, bagi sekolah yang menjadikan bahasa Inggris sebagai muatan lokal atau
mata pelajaran tambahan dapat tetap dilakukan selama konten yang diberikan
tidak membebani dan dapat diterima baik oleh anak-anak (Kompas.com,
13/11/2012). Berkaitan dengan issue perubahan kurikulum tersebut, tulisan ini
hanya ingin mengajak pembaca untuk berfikir tentang manfaat dari pembelajaran
bahasa Inggris di tingkat sekolah dasar tersebut serta dampak dari
penghentiannya.
Pembahasan
Kebijakan
tentang memasukkan mata pelajaran bahasa Inggris di sekolah dasar dimulai
dengan munculnya kebijakan Depdikbud RI No. 0487/1992, Bab VIII, yang
menyatakan bahwa sekolah dasar dapat menambah mata pelajaran dalam
kurikulumnya, asalkan mata pelajaran tersebut tidak bertentangan dengan tujuan
pendidikan nasional. Kebijakan tersebut disusul dengan SK Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan No. 060/U/1993 tentang adanya kemungkinan menjadikan bahasa
Inggris sebagai mata pelajaran muatan lokal SD dimulai dari kelas 4 SD. Kemudian,
menurut Permendiknas No. 22-23/2006 tentang Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan,
menyebutkan bahwa pembelajaran bahasa Inggris di tingkat SD/MI diarahkan untuk mengembangkan
keterampilan-keterampilan membaca, menulis, berbicara dan mendengarkan agar
lulusan mampu berkomunikasi dan berwacana dalam bahasa Inggris pada tingkat literasi
performative. Pada tingkat performative, orang mampu membaca,
menulis, mendengarkan, dan berbicara dengan simbol-simbol yang digunakan.
Sehubungan
dengan hal tersebut, perlu ditetapkan standar kompetensi bahasa Inggris
bagi SD/MI yang menyelenggarakan mata
pelajaran Bahasa Inggris sebagai muatan lokal. Kompetensi lulusan SD/MI
tersebut selayaknya merupakan kemampuan yang bermanfaat dalam rangka menyiapkan
lulusan untuk belajar bahasa Inggris di tingkat SMP/MTs. Kemampuan yang
dimaksud adalah kemampuan berinteraksi dalam bahasa Inggris untuk menunjang
kegiatan kelas dan sekolah. Pendidikan bahasa Inggris di SD/MI dimaksudkan
untuk mengembangkan kemampuan berbahasa yang digunakan untuk menyertai tindakan
atau language accompanying action serta
untuk berinteraksi dan bersifat here and now. Topik pembicaraannya
berkisar pada hal-hal yang ada dalam konteks sekolah. Tujuan pendidikan bahasa
Inggris di SD/MI yang lainnya adalah agar lulusan memiliki kesadaran tentang
hakikat dan pentingnya bahasa Inggris untuk meningkatkan daya saing bangsa
dalam masyarakat global. Untuk mencapai kompetensi ini, peserta didik perlu
dipajankan dan dibiasakan dengan berbagai ragam pasangan bersanding (adjacency
pairs) yang merupakan dasar menuju kemampuan berinteraksi yang lebih
kompleks.
Sebagai muatan lokal, bahasa Inggris merupakan
bahasa asing yang dipelajari setelah bahasa ibu. Dengan kata lain,
pengaplikasian serta alokasi waktu yang diberikan ditingkat sekolah dasar tidak akan melebihi pembelajaran bahasa
Indonesia sebagai bahasa ibu. Kemudian, bahasa Indonesia itu sendiri tetap
digunakan sebagai bahasa pengantar pada mata pelajaran lain kecuali pada
sekolah berstatus Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional. Melalui sejumlah
pengamatan, secara umum, peserta didik di kelas 1-3 terlihat antusias terhadap
pembelajaran bahasa Inggris selama pembelajaran tersebut tidak keluar dari patokan
yang diberikan di dalam Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan, yakni
memberikan materi sesuai tingkat literasi performative. Kenyataannya, tes
sering menjadi tujuan utama dalam pembelajaran bahasa Inggris serta banyak guru
yang mengutamakan tes dalam proses pembelajaran. Guru juga sering terjebak dan
terpaku pada buku bahasa Inggris dari penerbit, sehingga tujuan pembelajaran
bahasa Inggris seringkali melenceng dari tujuan semula. Selain itu, seharusnya
pembelajaran lebih ditekankan pada kosakata yang beragam sesuai dengan konteks
kelas dan sekolah dan bukan melulu tentang grammar atau structure, sesuai
dengan pendapat Sekretaris Jendral Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno
Listyarti (Kompas.com, 13/11/2012).
Pada dasarnya, menurut
Suyanto, peserta didik di tingkat sekolah dasar adalah young learners, dimana
tingkat konsentrasi mereka tidak akan lebih dari 90 menit di dalam mengikuti
pelajaran, sehingga guru dituntut untuk menyediakan pembelajaran yang
menyenangkan (Wulandari, 2012: 2). Selain itu, menurut Cahyono dan Shirly (Wulandari,
2012: 1) penguasaan kosakata bahasa Inggris bagi anak-anak merupakan elemen
dasar yang penting untuk kemampuan berbicara, menulis, membaca dan mendengar.
Sedangkan menurut Calderon dkk (Wulandari, 2012: 1) kemampuan kosakata bahasa
Inggris bagi anak-anak memberikan prediksi tentang kemampuan mereka di tingkat
lebih lanjut.
Sedangkan menurut
Itje Chodijah, pendidik dan pelatih guru bahasa Inggris nasional, pembelajaran
bahasa Inggris kepada peserta didik tingkat sekolah dasar belum didasarkan pada
acuan yang jelas dan penyiapan kompetensi guru yang tepat. Meskipun bahasa
Inggris di SD merupakan mata pelajaran muatan lokal, pemerintah tetap perlu
membenahi dan memberikan acuan yang jelas di dalam pelaksanaannya (Kompas.com,
30/10/2012). Seharusnya, pembelajaran bahasa Inggris di SD ini mudah, sederhana
dan menyenangkan, bertujuaan untuk kesenangan siswa dan memberikan kesadaran
bahwa ada bahasa asing sebagai alternatif berkomunikasi untuk menyongsong
globalisasi, diantaranya dengan adanya blended learning. Penjelasan Musliar bahwa kompetensi yang
diperhitungkan pada siswa SD adalah Calistung sehingga tidak perlu mempelajari
ilmu pengetahuan yang terlalu tinggi (Okezone.com, 10/10/2012) adalah tidak
tepat, karena pada hakekatnya salah satu tujuan pendidikan nasional adalah
meningkatkan daya saing generasi muda dalam masyarakat global. Sehingga perlu adanya
pertimbangan untuk meletakkan dasar yang kuat bagi peserta didik kita pada masa
periode emas atau di tingkat dasar dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.
Di samping itu pandangan masyarakat tentang
perubahan kurikulum yang lagi dan lagi serta terkesan ganti menteri selalu
ganti kurikulum tidak akan memburuk jika arahnya tetap menuju ke depan dan
bukannya mundur ke belakang.
Kesimpulan
Tentu sangat disayangkan jika pemerintah tidak
mengkaji dengan hati-hati masalah perubahan kurikulum terkait dengan
pembelajaran bahasa Inggris di tingkat SD. Bukanlah merupakan suatu alasan yang
kuat jika pembelajaran bahasa Inggris di tingkat SD dianggap mengganggu
perkembangan bahasa ibu, karena pada kenyataannya bahasa Inggris adalah bahasa
asing yang merupakan muatan lokal. Kemudian, peserta didik di tingkat SD sedikit
banyak sudah pasti telah menguasai bahasa ibu, sebelum mereka duduk di bangku
sekolah dasar sehingga pembelajaran bahasa Inggris tidak akan mengurangi
penguasaan bahasa Indonesia mereka. Seandainya ada peserta didik yang belajar
bahasa Inggris secara khusus di tingkat pre school atau kindergarten, itu merupakan
kebijaksanaan dari orang tua itu sendiri, dipicu dengan adanya persaingan antar
lembaga pendidikan di tingkat pra sekolah dasar.
Selain itu, seharusnya ada pengawasan dan pembinaan
yang lebih intensif tentang pelaksanaan pembelajaran bahasa Inggris terhadap
guru sehingga asumsi bahwa bahasa Inggris
membebani siswa dapat dikesampingkan serta dapat menghasilkan output
yang optimal. Menurut pendapat penulis, akan sangat terlambat bagi peserta
didik jika mereka baru mulai diperkenalkan bahasa Inggris di bangku SMP/Mts,
karena masa periode emas adalah masa exposure yang paling tepat, atau
setidaknya dapat dimulai pada saat mereka duduk di kelas 4. Tingkat kebutuhan
kita terhadap bahasa asing tidaklah sama seperti era 80an, ketika kita baru
mulai mengenal pembelajaran bahasa Inggris saat duduk di bangku SMP/Mts, maka seharusnya
kita juga tidak perlu mengulang masa-masa dimana gaung go internasional belum
merebak seperti sekarang ini.
Pendapat tentang pembelajaran bahasa Inggris di
tingkat sekolah dasar dapat mempengaruhi nasionalisme juga dapat
dikesampingkan. Kita harus berfikir bahwa bahasa hanyalah merupakan alat
komunikasi yang tidak akan melunturkan rasa nasionalisme. Karena masalah
nasionalisme adalah masalah pendidikan karakter, rasa kebanggaan terhadap
bahasa Indonesia tetap harus dikuatkan
melalui pendidikan karakter pada saat pembelajaran bahasa Inggris giat
dilaksanakan. Di samping itu kebutuhan terhadap keterampilan berbahasa Inggris
untuk ikut berpartisipasi dalam era komunikasi dan globalisasi sesuai dengan
tujuan pendidikan nasional bagi generasi muda tidak akan tercapai jika bahasa
Inggris tidak diperkenalkan lebih awal. Akan tetapi, di dalam pelaksanaannya
harus disiapkan secara matang mulai dari kurikulum dan tenaga pendidik yang
memiliki kemampuan di bidangnya sehingga memiliki arah yang jelas serta tidak
membebani peserta didik.
Akhirnya, meskipun nantinya kebijakan pemerintah
sudah bulat untuk tidak memasukkan bahasa Inggris pada kurikulum mendatang, ada
baiknya jika pemerintah memikirkan serta membuat alternatif lain agar siswa
tetap dapat menguasai bahasa Inggris sejak dini mengingat sifatnya adalah
bahasa internasional sehingga generasi muda kita tidak jauh tertinggal dan
tetap mampu memegang kendali dalam era globalisasi ini.
*Penulis adalah guru Bahasa Inggris
di MIN Gedog Kota Blitar dan alumnus Pascasarjana Prodi Bahasa Inggris
Universitas Negeri Malang
Referensi
Afifah,
R. 11 Oktober 2012. Bahasa Inggris Akan Dihapus dari Kurikulum SD. Kompas (Online), (http:// www.edukasi.Kompas.com), diakses 11 Oktober 2012
Afifah,
R. 13 November 2012. Sekali Lagi Ditegaskan Bahasa Inggris SD Tak Dihapus. Kompas (Online), (http:// www.edukasi.Kompas.com), diakses 14 November 2012
Ansori,
A. 2012. Tidak Ada Lagi Bahasa Inggris
SD. DariSekolahDasar.Net, (Online), (http://www.sekolahdasar.net/2012/10/artikel-tidak-ada-lagi-bahasa-inggris-sd-html#ixzz2FwR02SKj), diakses 23 Oktober 2012
Kompas.
30 Oktober 2012. Pelajaran Bahasa Inggris
di SD Perlu Perbaikan. (Online), (http://www. Edukasi.Kompas.com), diakses 1 November 2012
Wardah,
F. 2012. Orang Tua Pertanyakan Penghapusan Bahasa Inggris dari SD. VOA (Online), (http:// www.voaindonesia.com), diakses 20 November
2012
Wulandari,
R. 2012. Using the Shared Book Technique to Improve the
Fifth Graders’ Mastery of Vocabulary of Madrasah Ibtidaiyah Negeri Kota Blitar.
Tesis tidak diterbitkan. Malang: Pps UM.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 22-23 Tahun 2006
tentang Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah. Badan Standar Nasional Pendidikan. (Online), (http://litbang.Kemdikbud.go.id/content/Standar%20Isi%20SD(1).pdf), diakses 23
Mei 2012.
Zubaidah,
N. 10 Oktober 2012. Bahasa Inggris SD Akan Dihapus. Okezone (Online), (http://www. Kampus.okezone.com), diakses 12
Oktober 2012