Monday, September 21, 2015

Penerapan Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Masih Kacau

·   0



Penerapan Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Masih Kacau

Oeh : Yohannie Linggasari, CNN Indonesia

Penerapan Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Masih Kacau Aktivis membawa poster kampanye menentang pekerja anak di Jakarta, Minggu, 14 Juni 2015. Pemerintah didesak meningkatkan komitmen wajib belajar 12 tahun yang berkualitas. (CNN Indonesia/Safir Makki)
read more

Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menargetkan implementasi wajib belajar 12 tahun pada 2016. Namun, hingga kini, berbagai pihak menilai masih banyak permasalahan yang harus diselesaikan terlebih dulu agar wajib belajar 12 tahun bisa berjalan dengan sukses.
Salah satu hal yang menjadi sorotan adalah implementasi standar pelayanan minimal (SPM) pendidikan yang dinilai masih kacau dan bermasalah.
Peneliti Education Sector Analytical and Capacity Development Partnership (ACDP) Abdul Malik berpendapat pemerintah harus fokus dulu memperbaiki implementasi SPM sebelum fokus ke program wajib belajar 12 tahun.
“Pemerintah harus perbaiki dulu sekolah yang masih kurang layak. Guru juga harus ditingkatkan lagi kualitasnya. Barulah wajib belajar 12 tahun bisa sukses,” kata Malik saat diskusi di Kemendikbud, Jakarta, Rabu (9/9).
Masalahnya, kata Malik, masih banyak daerah yang tidak memiliki sekolah dengan kualitas mumpuni sehingga siswa kesulitan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. “Sebenarnya banyak sekolah bagus di Indonesia, tetapi biayanya mahal,” kata Malik.
Berdasarkan penelitian ACDP, hanya 10 persen sekolah menengah pertama (SMP) yang memiliki fasilitas laboratorium sains yang memadai dan memiliki perabotan yang lengkap. Kekurangan yang menonjol tak hanya terlihat dari aspek fisik sekolah, namun juga di berbagai aspek, seperti supervisi, perencanaan belajar, dan penilaian murid.
Dalam penelitian itu juga diungkapkan bahwa hanya 23 persen sekolah dasar (SD) dan hanya 20 persen SMP yang terbukti dikunjungi oleh pengawas sekolah setiap bulannya. Dana untuk memperbaiki kekurangan dalam bentuk biaya modal bagi pembangunan gedung dan kelas dinilai cukup besar, yaitu minimal Rp 20,2 triliun.
Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa kinerja SPM memang lebih rendah di bagian timur Indonesia, dibandingkan di Jawa. Kendati demikian, Kepala Pusat Penelitian Kebijakan Kemendikbud Hendarman mengatakan beberapa daerah di Jawa juga masih tertinggal dalam hal penerapan SPM pendidikan dasar.
“Katanya di Jawa lebih baik. Namun, nyatanya, masih banyak daerah di Jawa yang belum dapat memenuhi SPM pendidikan dasar, misalnya Banjarnegara. Dalam catatan kami, di sana masih terjadi kekurangan guru,” kata Hendarman.
Berdasarkan studi yang dilakukan Kemendikbud akhir tahun lalu, saat ini hanya 19,77 persen kepala sekolah SMP yang melakukan supervisi kelas secara berkala dan memberikan umpan balik kepada guru sebanyak dua kali setiap semester. Demikian salah satu poin dalam SPM. Ditemukan pula hanya 50,21 persen SD yang menyelenggarakan proses pembelajaran selama 34 minggu per tahun.
Standar pelayanan terkait fasilitas yang menunjang kualitas pembelajaran juga dinilai masih rendah, seperti hanya 4,53 persen SMP yang menyediakan ruang laboratorium IPA yang dilengkapi meja dan kursi yang cukup untuk mengakomodasi 36 siswa. Selain itu, ditemukan hanya 37,12 persen SMP yang menyediakan buku teks yang kelayakannya sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 15 Tahun 2010 tentang SPM di kabupaten/kota, terdapat 27 indikator pemenuhan SPM. Sebanyak 14 indikator dari jumlah tersebut merupakan tanggung jawab kabupaten/kota, sementara 13 lainnya merupakan tanggung jawab sekolah/madrasah.
Beberapa indikator yang harus dipenuhi kabupaten/kota, misalnya jumlah peserta didik di sekolah dasar atau madrasah tidak lebih dari 32 orang, guru berkualifikasi akademik S1 atau D-IV, serta tersedia satuan pendidikan dalam jarak maksimal tiga kilometer untuk SD serta enam kilometer untuk tingkat SMP.
Sementara, beberapa indikator yang menjadi tanggung jawab sekolah/madrasah, di antaranya adanya ketersediaan buku teks, setiap guru bekerja 37,5 jam per minggu, serta adanya pengawasan dari kepala sekolah.
Harus Perhatikan Kearifan Lokal
Abdul Malik berpendapat Standar Pelayanan Minimal pendidikan dasar seharusnya memperhatikan unsur kearifan lokal. Pasalnya, Malik menilai SPM tidak bisa diterapkan secara “pukul rata” di semua daerah Indonesia lantaran daerah punya keistimewaannya masing-masing.
“SPM adalah standar untuk sekitar 90 persen sekolah di Indonesia. Artinya, ada 10 persen sisanya yang perlu perlakuan khusus, di mana harus ada penyesuaian dengan kondisi daerahnya,” kata Malik.
Senada dengan Malik, Totok Amin Soefijanto yang juga peneliti di ACDP, menyatakan salah satu daerah yang memerlukan perlakuan khusus adalah Papua. Dalam praktiknya, SPM yang telah disusun dan diperuntukkan secara nasional tidak dapat diterapkan di sana.
“Di sana kami temukan banyak rumah guru dan sekolah kosong. Secara fasilitas, SPM telah terpenuhi, tetapi ternyata sekolahnya tidak dipakai karena anak-anak di sana lebih suka sekolah kampung,” kata Totok.
Papua hanya salah satu contoh dari banyak daerah yang kurang tepat menerapkan SPM pendidikan. Berdasarkan penelitian ACDP, kinerja SPM memang lebih rendah di bagian Timur Indonesia, dibandingkan di Jawa.
Kepala Pusat Penelitian Kebijakan Kemendikbud Hendarman menambahkan saat ini sebanyak 70 persen SD dan SMP telah memenuhi SPM. Di Indonesia, jumlah SD dan SMP berjumlah 173.149 buah.

Subscribe to this Blog via Email :