Penerapan Standar Pelayanan
Minimal Pendidikan Masih Kacau
Oeh : Yohannie Linggasari, CNN Indonesia
Penerapan Standar Pelayanan Minimal
Pendidikan Masih Kacau Aktivis membawa poster kampanye menentang pekerja anak
di Jakarta, Minggu, 14 Juni 2015. Pemerintah didesak meningkatkan komitmen
wajib belajar 12 tahun yang berkualitas. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menargetkan implementasi wajib belajar
12 tahun pada 2016. Namun, hingga kini, berbagai pihak menilai masih banyak
permasalahan yang harus diselesaikan terlebih dulu agar wajib belajar 12 tahun
bisa berjalan dengan sukses.
Salah satu hal yang menjadi sorotan adalah
implementasi standar pelayanan minimal (SPM) pendidikan yang dinilai masih
kacau dan bermasalah.
Peneliti Education Sector Analytical and
Capacity Development Partnership (ACDP) Abdul Malik berpendapat pemerintah
harus fokus dulu memperbaiki implementasi SPM sebelum fokus ke program wajib
belajar 12 tahun.
“Pemerintah harus perbaiki dulu sekolah yang
masih kurang layak. Guru juga harus ditingkatkan lagi kualitasnya. Barulah
wajib belajar 12 tahun bisa sukses,” kata Malik saat diskusi di Kemendikbud,
Jakarta, Rabu (9/9).
Masalahnya, kata Malik, masih banyak daerah
yang tidak memiliki sekolah dengan kualitas mumpuni sehingga siswa kesulitan
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. “Sebenarnya banyak sekolah
bagus di Indonesia, tetapi biayanya mahal,” kata Malik.
Berdasarkan penelitian ACDP, hanya 10 persen
sekolah menengah pertama (SMP) yang memiliki fasilitas laboratorium sains yang
memadai dan memiliki perabotan yang lengkap. Kekurangan yang menonjol tak hanya
terlihat dari aspek fisik sekolah, namun juga di berbagai aspek, seperti
supervisi, perencanaan belajar, dan penilaian murid.
Dalam penelitian itu juga diungkapkan bahwa
hanya 23 persen sekolah dasar (SD) dan hanya 20 persen SMP yang terbukti
dikunjungi oleh pengawas sekolah setiap bulannya. Dana untuk memperbaiki
kekurangan dalam bentuk biaya modal bagi pembangunan gedung dan kelas dinilai
cukup besar, yaitu minimal Rp 20,2 triliun.
Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa
kinerja SPM memang lebih rendah di bagian timur Indonesia, dibandingkan di
Jawa. Kendati demikian, Kepala Pusat Penelitian Kebijakan Kemendikbud Hendarman
mengatakan beberapa daerah di Jawa juga masih tertinggal dalam hal penerapan
SPM pendidikan dasar.
“Katanya di Jawa lebih baik. Namun, nyatanya,
masih banyak daerah di Jawa yang belum dapat memenuhi SPM pendidikan dasar,
misalnya Banjarnegara. Dalam catatan kami, di sana masih terjadi kekurangan
guru,” kata Hendarman.
Berdasarkan studi yang dilakukan Kemendikbud
akhir tahun lalu, saat ini hanya 19,77 persen kepala sekolah SMP yang melakukan
supervisi kelas secara berkala dan memberikan umpan balik kepada guru sebanyak
dua kali setiap semester. Demikian salah satu poin dalam SPM. Ditemukan pula
hanya 50,21 persen SD yang menyelenggarakan proses pembelajaran selama 34
minggu per tahun.
Standar pelayanan terkait fasilitas yang
menunjang kualitas pembelajaran juga dinilai masih rendah, seperti hanya 4,53
persen SMP yang menyediakan ruang laboratorium IPA yang dilengkapi meja dan
kursi yang cukup untuk mengakomodasi 36 siswa. Selain itu, ditemukan hanya
37,12 persen SMP yang menyediakan buku teks yang kelayakannya sudah ditetapkan
oleh pemerintah.
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 15 Tahun 2010 tentang SPM di
kabupaten/kota, terdapat 27 indikator pemenuhan SPM. Sebanyak 14 indikator dari
jumlah tersebut merupakan tanggung jawab kabupaten/kota, sementara 13 lainnya
merupakan tanggung jawab sekolah/madrasah.
Beberapa indikator yang harus dipenuhi
kabupaten/kota, misalnya jumlah peserta didik di sekolah dasar atau madrasah
tidak lebih dari 32 orang, guru berkualifikasi akademik S1 atau D-IV, serta
tersedia satuan pendidikan dalam jarak maksimal tiga kilometer untuk SD serta
enam kilometer untuk tingkat SMP.
Sementara, beberapa indikator yang menjadi
tanggung jawab sekolah/madrasah, di antaranya adanya ketersediaan buku teks,
setiap guru bekerja 37,5 jam per minggu, serta adanya pengawasan dari kepala
sekolah.
Harus Perhatikan Kearifan Lokal
Abdul Malik berpendapat Standar Pelayanan
Minimal pendidikan dasar seharusnya memperhatikan unsur kearifan lokal.
Pasalnya, Malik menilai SPM tidak bisa diterapkan secara “pukul rata” di semua
daerah Indonesia lantaran daerah punya keistimewaannya masing-masing.
“SPM adalah standar untuk sekitar 90 persen sekolah
di Indonesia. Artinya, ada 10 persen sisanya yang perlu perlakuan khusus, di
mana harus ada penyesuaian dengan kondisi daerahnya,” kata Malik.
Senada dengan Malik, Totok Amin Soefijanto
yang juga peneliti di ACDP, menyatakan salah satu daerah yang memerlukan
perlakuan khusus adalah Papua. Dalam praktiknya, SPM yang telah disusun dan
diperuntukkan secara nasional tidak dapat diterapkan di sana.
“Di sana kami temukan banyak rumah guru dan
sekolah kosong. Secara fasilitas, SPM telah terpenuhi, tetapi ternyata
sekolahnya tidak dipakai karena anak-anak di sana lebih suka sekolah kampung,”
kata Totok.
Papua hanya salah satu contoh dari banyak
daerah yang kurang tepat menerapkan SPM pendidikan. Berdasarkan penelitian
ACDP, kinerja SPM memang lebih rendah di bagian Timur Indonesia, dibandingkan
di Jawa.
Kepala Pusat Penelitian Kebijakan Kemendikbud
Hendarman menambahkan saat ini sebanyak 70 persen SD dan SMP telah memenuhi
SPM. Di Indonesia, jumlah SD dan SMP berjumlah 173.149 buah.