Tuesday, September 29, 2015

Pembelajaran Tematik SD/MI

·   0



Peserta didik yang berada pada sekolah dasar kelas satu, dua dan tiga berada pada rentangan usia dini. Pada usia tersebut seluruh aspek perkembangan kecerdasan IQ, EQ dan SQ tumbuh dan berkembang sangat luar biasa. Pada umumnya tingkat perkembangan masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistik) serta mampu memahami hubungan antara konsep secara sederhana. Proses pembelajaran masih bergantung kepada objek-objek konkrit dan pengalaman yang dialami secara langsung.
read more

Saat ini pelaksanaan kegiatan pembelajaran di SD kelas I – III untuk setiap mata pelajaran dilakukan secara terpisah, misalnya IPA 2 jam pelajaran, IPS 2 jam pelajaran dan bahasa Indonesia 2 jam pelajaran. Dalam pelaksanaan kegiatannya dilakukan secara murni mata pelajaran yaitu hanya mempelajari standar kompetensi dan kompetensi dasar yang berhubungan dengan mata pelajaran itu. sesuai dengan tahapan perkembangan anak masih melihat segala sesuatu sebagai suatu keutuhan (holistik), pembelajaran yang menyajikan mata pelajaran secara terpisah akan menyebabkan kurang mengembangkan anak untuk berpikir holistik dan membuat kesulitan bagi peserta didik.
Selain itu dengan pelaksanaan pembelajaran yang terpisah, muncul permasalahan pada kelas awal (I – III) antara lain adalah tingginya angka mengulang kelas dan putus sekolah. Angka mengulang kelas dan putus sekolah peserta didik kelas I SD jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelas yang lain. Data tahun 1999/2000 memperlihatkan bahwa angka mengulang kelas I sebesar 11,6% sementara pada kelas II 7,51%, kelas III 6,13%, kelas IV 4,64%, kelas V 3,1% dan kelas VI 0,37%. Pada tahun yang sama angka putus sekolah kelas I sebesar 4,22%, masih jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelas II 0,83%, kelas III 2,27%, kelas IV 2,71%, kelas V 3,79% dan kelas VI 1,78%.
Angka nasional tersebut semakin memprihatinkan jika dilihat dari data dimasing-masing propinsi terutama yang hanya memiliki sedikit Taman Kanak-Kanak. Hal itu terjadi terutama di daerah terpencil. Pada saat ini hanya sedikit peserta didik kelas I SD yang mengikuti pendidikan prasekolah sebelumnya. Tahun 1999/2000 tercatat hanya 12,61 atau 1.583.467 peserta didik usia 4-6 tahun yang masuk Taman Kanak-Kanak, dan kurang dari 5% peserta didik berada pada pendidikan prasekolah lain.
Permasalahan tersebut menunjukkan bahwa kesiapan sekolah sebagian besar peserta didik kelas awal sekolah dasar di Indonesia cukup rendah. Sementara itu hasil penelitian menunjukkan bahwa peserta didik yang telah masuk Taman Kanak-Kanak memiliki kesiapan bersekolah lebih baik dibandingkan dengan peserta didik yang tidak mengikuti pendidikan Taman Kanak-Kanak. Selain itu perbedaan pendekatan, model dan prinsip-prinsip pembelajaran antara kelas I dan II SD dengan pendidikan prasekolah dapat juga menyebabkan peserta didik yang telah mengikuti pendidikan prasekolah pun dapat saja mengulang kelas atau bahkan putus sekolah.
Atas dasar pemikiran di atas dan dalam rangka implementasi standar isi yang termuat  dalam Standar Nasional Pendidikan, maka pembelajaran pada kelas I, II dan III lebih sesuai jika dikelola dalam pembelajaran terpadu melalui pendekatan pembelajaran tematik. Untuk memberikan gambaran tentang pembelajaran tematik yang dapat menjadi acuan dan contoh konkret, disiapkan model pelaksanaan pembelajaran tematik untuk SD/MI kelas I hingga kelas III.

A.   Pengertian Pembelajaran Tematik
Sesuai dengan tahapan perkembangan anak, karakteristi cara anak belajar, konsep belajar dan pembelajaran bermakna, maka kegiatan pembelajaran bagi anak kelas awal SD sebaiknya dilakukan dengan pembelajaran tematik. Pembelajaran tematik adalah pembelajaran terpadu yang menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan pengalaman bermakna kepada siswa. Tema adalah pokok pikiran atau gagasan pokok yang menjadi pokok pembicaraan (Poerwadarminta, 1983). Dengan tema diharapkan akan memberikan banyak keuntungan,


di antaranya:
1.    Siswa mudah memusatkan perhatian pada suatu tema tertentu.
2.    Siswa mampu mempelajari pengetahuan dan mengembangkan berbagai kompetensi dasar antar    
       mata pelajaran dalam tema yang sama.
3.    Pemahaman terhadap materi pelajaran lebih mendalam dan berkesan.
4.  Kompetensi dasar dapat dikembangkan lebih baik dengan mengaitkan mata pelajaran lain dengan
      pengalaman pribadi siswa.
5.  Siswa mampu lebih merasakan manfaat dan makna belajar karena materi disajikan dalam konteks
     tema yang jelas.
6.   Siswa lebih bergairah belajar karena dapat berkomunikasi dalam situasi nyata, untuk
      mengembangkan suatu kemampuan dalam satu mata pelajaran sekaligus mempelajari mata  
      pelajaran lain.
7.  Guru dapat menghemat waktu karena mata pelajaran yang disajikan secara tematik dapat
     dipersiapkan sekaligus dan diberikan dalam dua atau tiga pertemuan, waktu selebihnya dapat
     digunakan untuk kegiatan remidial, pemantapan atau pengayaan.

B.   Tujuan
Tujuan penyusunan dokumen model pengembangan silabus tematik pada kelas awal Sekolah Dasar adalah sebagai berikut:
1.    Memberikan pengetahuan dan wawasan tentang pembelajaran tematik.
2.    Memberikan pemahaman kepada guru tentang pembelajaran tematik yang sesuai dengan perkembangan peserta didik kelas awal Sekolah Dasar.
3.    Memberikan ketrampilan kepada guru dalam menyususn perencanaan, melaksanakan dan melakukan penilaian dalam pembelajaran tematik.
4.    Memberikan wawasan, pengetahuan dan pemahaman bagi pihak terkait, sehingga diharapkan dapat memberikan dukungan terhadap kelancaran pelaksanaan pembelajaran tematik.

C.   Ruang Lingkup
Ruang lingkup pengembangan pembelajaran tematik meliputi seluruh mata pelajaran pada kelas I – III Sekolah Dasar, yaitu Pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Pendidikan Kewarganegaraan, Ilmu Pengetahuan Sosial, Seni Budaya dan Ketrampilan, serta Pendidikan Jasmani, Olah Raga dan Kesehatan.

D.   Karakteristik Perkembangan Anak Usia Kelas Awal SD
Anak yang berada di kelas awal SD adalah anak yang berada pada rentangan usia dini. Masa usia dini ini merupakan masa yang pendek tetapi merupakan masa yang sangat penting bagi kehidupan seseorang. Oleh karena itu, pada masa ini seluruh potensi yang dimiliki anak perlu didorong sehingga akan berkembang secara optimal.
Karakteristik perkembangan anak pada kelas I, II dan III SD biasanya pertumbuhan fisiknya telah mencapai kematangan, mereka telah mampu mengontrol tubuh dan keseimbangannya. Mereka telah dapat melompat dengan kaki secara bergantian, dapat menangkap bola, dapat mengendarai sepeda roda dua dan telah berkembang koordinasi tangan dan mata untuk dapat memegang pensil maupun memegang gunting. Selain itu, perkembangan sosial anak yang berada pada usia kelas awal SD antara lain mereka telah dapat menunjukkan kelakuannya tentang jenis kelaminnya, mulai berkopetisi dengan teman sebaya, mempunyai sahabat, mampu berbagi dan mandiri.
Perkembangan emosi anak usia 6 – 8 tahun antara lain anak telah dapat mengekspresikan reaksi terhadap orang lain, telah dapat mengontrol emosi, sudah mampu berpisah dengan orang tua dan telah mulai belajar tentang benar dan salah. Untuk perkembangan kecerdasannya anak usia kelas awal SD ditunjukkan dengan kemampuannya dalam melakukan seriasi, mengelompokkan obyek, berminat terhadap angka dan tulisan, meningkatkan perbendaharaan kata, senang berbicara, memahami sebab akibat dan berkembangnya pemahaman terhadap ruang dan waktu.
E.   Cara Anak Belajar
Piaget (1950) menyatakan bahwa setiap anak memiliki cara tersendiri dalam mengintepretasikan dan beradaptasi dengan lingkngannya (teori perkembangan kognitif). Menurutnya, setiap anak memiliki struktur kognitif yang disebut schemata, yaitu sistem konsep yang ada dalam pikiran sebagai hasil pemahaman terhadap objek yang ada dalam lingkungannya. Pemahaman tentang objek tersebut berlangsung melalui proses asimilasi (menghubungkan objek dengan konsep yang sudah ada dalam pikiran) dan akomodasi (proses memanfaatkan konsep-konsep dalam pikiran untuk menafsirkan objek). Kedua proses tersebut jika berlangsung terus menerus akan membuat pengetahuan baru menjadi seimbang. Dengan cara seperti itu secara bertahap anak dapat membangun pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya. Berdasarkan hal tersebut, maka perilaku belajar anak sangat dipengaruhi oleh aspek-aspek dari dalam dirinya dan lingkunngannya. Kedua hal tersebut tidak mungkin dipisahkan karena memang proses belajar terjadi dalam konteks interaksi diri anak dengan lingkungannya.
Anak usia sekolah dasar berada pada tahapan operasi konkret. Pada rentang usia tersebut anak mulai menunjukkan perilaku balajar sebagai berikut: (1) mulai memandang dunia secara objektif, bergeser dari satu aspek situasi ke aspek situasi lain secara reflektif dan memandang unsur-unsur secara serentak, (2) mulai berfikir secar operasional, (3) mempergunakan cara berpikir operasional untuk mengklasifikasikan benda-benda, (4) membentuk dan mempergunakan keterhubungan aturan-aturan, prinsip ilmiah sederhana dan mempergunakan hubungan sebab akibat, (5) memahami konsep substansi, volume zat cair, panjang, lebar, luas dan berat.
Memperhatiakan tahapan perkembanngan berpikir tersebut, kecenderungan belajar anak usia sekolah dasar memiliki tiga ciri, yaitu:
1.    Konkrit. Konkrit mengandung makna proses belajar beranjak dari hal-hal yang konkrit yakni yang dapat dilihat, didengar, dibaui, diraba dan diotak-atik, dengan titik penekanan pada pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar. Pemanfaatan lingkungan akan menghasilkan proses dan hasil belajar yang lebih bermakna dan bernilai, sebab siswa  dihadapkan dengan peristiwa dan keadaan yang sebenarnya, keadaan yang alami, sehingga lebih nyata, lebih faktual, lebih bermakna dan kebenarannya lebih dapat dipertanggungjawabkan.
2.    Integratif. Pada tahap usia sekolah dasar anak memandang sesuatu yang dipelajari sebagai suatu keutuhan, mereka belum mampu memilah-milah konsep dari berbagai disiplin ilmu, hal ini melukiskan cara berpikir anak yang deduktif yakni dari hal umum ke bagian khusus.
3.    Hierarkis. Pada tahapan usia sekolah dasar, cara anak belajar berkembang secara bertahap mulai dari hal-hal yang sederhana ke yang lebih kompleks. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu diperhatikan mengenai urutan logis, keterkaitan antar materi dan cakupan keluasaan serta kedalaman materi.

F.    Belajar dan Pembelajaran Bermakna
Belajar pada hakekatnya merupakan proses perubahan di dalam kepribadian yang berupa kecakapan, sikap, kebiasaan dan kepandaian. Perubahan ini bersifat menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman. Pembelajaran pada hakekatnya adalah suatu proses interaksi antar anak dengan anak, anak dengan sumber belajar dan anak dengan pendidik. Kegiatan pembelajaran ini akan menjadi bermakna bagi anak jika dilakukan dalam lingkungan yang nyaman dan memberikan rasa aman bagi anak. Prose belajar terjadi dalam diri individu sesuai dengan perkembangan dan lingkungannya.
Belajar bermakna (meaningful learning) merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Kebermaknaan belajar sebagai hasil dari peristiwa mengajar ditandai oleh terjadinya hubungan antara aspek-aspek, konsep-konsep, informasi atau situasi baru dengan komponen-komponen yang relevan di dalam struktur kognitif siswa. Proses belajar tidak sekedar menghafal konsep-konsep atau fakta-fakta belaka, tetapi merupakan kegiatan menghubungkan konsep-konsep untuk menghasilakan pemahaman yang utuh, sehingga konsep yang dipelajari akan dipahami secara baik dan tidak mudah dilupakan. Dengan demikian, agar terjadi belajar bermakna maka guru harus selalu berusaha mengetahui dan menggali konsep-konsep yang telah dimiliki siswa dan membantu memadukannya secara harmonis konsep-konsep tersebut dengan pengetahuan baru yang akan diajarkan. Dengan kata lain belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami langsung apa yang dipelajarinya dengan mengaktifkan lebih banyak indera dari pada hanya mendengarkan orang/guru menjelaskan.

G.   Landasan Pembelajaran Tematik
Landasan pembelajaran tematik mencakup:
1.    Landasan filosofis dalam pembelajaran tematik sangat dipengaruhi oleh tiga aliran filsafat yaitu:
a.    Aliran progresivisme, memandang proses pembelajaran perlu ditekankan pada pembentukan kreatifitas, pemberian sejumlah kegiatan, suasana yang alamiah (natural) dan memperhatikan pengalaman siswa.
b.    Aliran konstruktivisme, melihat pengalaman langsung siswa (direct experiences) sebagai kunci dalam pembelajaran. Menurut aliran ini, pengetahuan adalah hasil konstruksi atau bentukan manusia. Manusia mengkonstruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan obyek, fenomena, pengalaman dan lingkungannya. Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seorang guru kepada anak, tetapi harus diintrepetasikan sendiri oleh masing-masing siswa. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Keaktifan siswa yang diwujudkan oleh rasa ingin tahunya sangat berperan dalam perkembangan pengetahuannya.
c.    Aliran humanisme, melihat siswa dari segi keunikan kekhasannya, potensinya dan motivasi yang dimilikinya.
2.    Landasan psikologis dalam pembelajaran tematik terutama berkaitan dengan psikologi perkembangan peserta didik dan psikologi belajar. Psikologi perkembanngan diperlukan terutama dalam menentukan isi/materi pembelajaran tematik yang diberikan kepada siswa agar tingkat keluasaan dan kedalamannya sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik. Psikologi belajar memberikan kontribusi dalam hal bagaimana isi/materi pembelajaran tematik tersebut disampaikan kepada siswa dan bagaimana pula siswa harus mempelajarinya.
3.    Landasan yuridis dalam pembelajaran tematik berkaitan dengan berbagai kebijakan atau peraturan yang mendukung pelaksanaan pembelajaran tematik di sekolah dasar. Landasan yuridis tersebut adalah UU, No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya (pasal 9). UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyatakan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya (Bab V Pasal 1-b).

H.   Arti Penting Pembelajaran Tematik
Pembelajaran tematik lebih menekankan pada ketertiban siswa dalam proses belajar secara aktif dalam proses belajar secara aktif dalam proses pembelajaran, sehingga siswa dapat memperoleh pengalaman langsung dan terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai pengetahuan yang dipelajarinya. Melalui pengalaman langsung siswa akan memahami konsep-konsep yang mereka pelajari dan menghubungkannya dengan konsep lain yang telah dipahaminya. Teori pembelajaran ini dimotori oleh para tokoh psikologi Gestalt, termasuk Piaget yang menekankan bahwa pembelajaran haruslah bermakna dan berorientasi pada kebutuhan dan perkembangan anak.
Pembelajaran tematik lebih menekankan pada penerapan konsep belajar sambil melakukan sesuatu (learning by doing). Oleh karena itu, guru perlu mengemas atau merancang pengalaman belajar yang akan mempengaruhi kebermaknaan belajar siswa. Pengalaman belajar yang menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual menjadikan proses pembelajaran lebih efektif. Kaitan konseptual antar mata pelajaran yang dipelajari akan membentuk skema, sehingga siswa akan memperoleh keutuhan dan kebulatan pengetahuan. Selain itu, dengan penerapan pembelajaran tematik di sekolah dasar akan sangat membantu siswa, karena sesuai dengan tahap perkembangannya siswa yang masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistik).
Beberapa ciri khas dari pembelajaran tematik antara lain:
1.    Pengalaman dan kegiatan belajar sangat relevan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan anak usia sekolah dasar.
2.    Kegiatan-kegiatan yang dipilih dalam pelaksanaan pembelajaran tematik bertolak dari minat dan kebutuhan siswa.
3.    Kegiatan belajar akan lebih bermakna dan berkesan bagi siswa sehingga hasil belajar dapat bertahan lebih lama.
4.    Membantu mengembangkan ketrampilan berpikir siswa.
5.    Menyajikan kegiatan belajar yang bersifat pragmatis sesuai dengan permasalahan yang sering ditemui siswa dalam lingkungannya.
6.    Mengembangkan ketrampilan sosial siswa, seperti kerjasama, toleransi, komunikasi dan tanggap terhadap gagasan orang lain.
Pelaksanaan pembelajaran dengan memanfaatkan tematik ini akan diperoleh beberapa manfaat, yaitu:
1.    Dengan menggabungkan beberapa kompetensi dasar dan indikator serta isi mata pelajaran akan terjadi penghematan, karena tumpang tindih meteri dapat dikurangi bahkan dihilangkan.
2.    Siswa mampu melihat hubungan-hubungan yang bermakna sebab isi/materi pembelajaran lebih berperan sebagai sarana atau alat, bukan tujuan tujuan akhir.
3.    Pembelajaran menjadi utuh sehingga siswa akan mendapat pengertian mengenai proses dan materi yang tidak terpecah-pecah.
4.    Dengan adanya pemaduan antar mata pelajaran maka penguasaan konsep akan semakin baik dan meningkat.

I.      Karakteristik Pembelajaran Tematik
Sebagai suatu model pembelajaran di sekolah dasar, pembelajaran tematik memiliki karakteristi-karakteristik sebagai berikut:
1.    Berpusat pada siswa
Pembelajaran tematik berpusat pada siswa (student centered), hal ini sesuai dengan pendekatan belajar modern yang lebih banyak menempatkan siswa sebagai subyek belajar sedangkan guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator yaitu memberikan kemudahan-kemudahan kepada siswa untuk melakukan aktivitas belajar.
2.    Memberikan pengalaman langsung.
Pembelajaran tematik dapat memberikan pengalaman langsung pada siswa (direct experiences). Dengan pengalaman langsung ini, siswa dihadapkan pada sesuatu yang nyata (konkrit) sebagai dasar untuk memahami, hal-hal yang lebih abstrak.
3.    Pemisahan mata pelajaran, tidak begitu jelas.
Dalam pembelajaran tematik pemisahan antar mata pelajaran menjadi tidak begitu jelas. Fokus pembelajaran diarahkan kepada pembahasan tema-tema yang paling dekat berkaitan dengan kehidupan siswa.
4.    Menyajikan konsep dari berbagai mata pelajaran.
Pembelajaran tematik menyajikan konsep-konsep dari berbagai mata pelajaran dalam suatu proses pembelajaran. Dengan demikian, siswa mampu memahami konsep-konsep tersebut secara utuh. Hal ini diperlukan untuk membantu siswa dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
5.    Bersifat fleksibel.
Pembelajaran tematik bersifat luwes (flesibel) dimana guru dapat mengaitkan bahan ajar dari satu mata pelajaran dengan mata pelajaran yang lainnya, bahkan mengaitkannya dengan kehidupan siswa dan keadaan lingkungan dimana sekolah dan siswa berada.
6.    Hasil pembelajaran sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa.
Siswa diberi kesempatan untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinnya sesuai dengan minat dan kebutuhannya.
7.    Menggunakan prinsip belajar sambil bermain dan menyenangkan.
J.    Rambu-Rambu
1.    Tidak semua mata pelajaran harus dipadukan.
2.    Dimungkinkan terjadi penggabungan kompetensi dasar lintas semester.
3.    Kompetensi dasar yang tidak dapat dipadukan, jangan dipaksakan untuk dipadukan. Kompetensi dasar yang tidak diintegrasikan dibelajarkan secara tersendiri.
4.    Kompetensi dasar yang tidak tercakup pada tema tertentu harus tetap diajarkan baik melalui tema lain maupun disajikan secara tersendiri.
5.    Kegiatan pembelajaran ditekankan pada kemampuan membaca, menulis dan berhitung serta penanaman nilai-nilai moral.
6.    Tema-tema yang dipilih disesuaikan dengan karakteristik siswa, minat, lingkungan dan daerah setempat.

Subscribe to this Blog via Email :